SEKALI LAGI, KEBEBASAN BERAGAMA
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya ( UUD 1945, 28 E/2 ). Kalimat tersebut telah lama resmi dinyatakan dalam perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Namun bagaimana dengan pelaksanaannya?
Artikel ini didasari oleh opini yang ditulis Zuly Qodir, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam harian Kompas, Senin 3 Maret 2014. Dalam tulisannya, ia mencantumkan laporan tahunan The Wahid Institute ( 2014 ) menyatakan, selama Januari-Desember 2013, jumlah pelanggaran atau intoleransi keyakinan beragama tercatat 245 peristiwa sedangkan total tindak kekerasan antar agama sebanyak 280 kasus di Indonesia. Konflik terjadi karena mengatasnamakan agama dengan berbuat tindak kekerasan serta adanya tanggapan guna menyelamatkan keyakinannya sehingga seringkali terdapat pemaksaan supaya orang mengganti keyakinannya.
Perilaku pelarangan dan tindak kekerasan atas mereka yang beragama dilakukan oleh aktor yang bernama negara bukan sekedar warga negara. Dimana peran negara selama ini? Bukankah seharusnya negara mengarah pada failed state dalam melindungi warganya untuk berkeyakinan dan beribadah?. Menurut Zuly Qodir, berkembangnya etika kaum beragama sangat diperlukan. Etika agama secara publik merupakan cara beragama yang berani menghadirkan paham keyakinannya ditengah masyarakat namun tidak untuk menghakimi keyakinan dan peribadatan orang yang berbeda agama.
Indonesia adalah negara demokrasi yang nyatanya terdiri dari masyarakat yang majemuk. Saya setuju dengan solusi yang telah diungkapkan Bpk. Zuly Qodir.Menurut pandangan saya, yang harus diubah dari masyarakat Indonesia adalah pola pikirnya. Negara punya campur tangan besar dalam hal ini. Mulai dari hukuman yang diberlakukan guna membuat jera oknum-oknum yang melakukan tindak kekerasan beragama, partisipasi negara dalam tindak nyata guna membuktikan adanya perubahan besar dalam kebebasan beragama, diberikannya kesempatan serta kemudahan kepada masyarakat yang berbeda SARA untuk berkarya dan menjabat baik dalam pemerintahan maupun swasta, dll. Dan masyarakat sendiri juga harus berpikiran terbuka serta menumbuhkembangkan rasa solidaritas persaudaraan , rasa saling menghormati, menghargai antar sesama umat beragama.
Sumber : Kompas Senin 3 Maret 2014, halaman 7
No comments:
Post a Comment